Senin, 16 Maret 2009

OpiniQ

GURU DAN KARYA TULIS ILMIAH
Oleh: Mohamad Johan

Pada akhir Agustus kemarin sebuah stasiun televisi swasta menayangkan berita tentang unjuk rasa yang dilakukan oleh ratusan guru yang dikordinir oleh induk organisasi mereka yakni Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke Pemerintah Kabupaten di sebuah kota di Jawa Tengah. Mereka menuntut persyaratan pembuatan karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat yang telah ditetapkan oleh pemda setempat dihapuskan, karena tidak sesuai dengan undang-undang.
Tentu bukan unjuk rasanya yang menjadi concern dari tulisan ini, karena unjuk rasa merupakan hak asasi setiap penduduk negeri ini apapun profesinya termasuk guru sekalipun, apalagi di tengah bangsa yang sedang mencoba membangun demokrasinya ini, maka seakan-akan unjuk rasa ataupun demontrasi menjadi sebuah keniscayaan bila sebuah kebijakan publik telah dinilai melenceng dari yang sesungguhnya dan yang diharapkan.
Yang menjadi perhatian penulis adalah materi atau isi tuntutan para “pahlawan tanpa tanda jasa” itu yang meminta penulisan karya tulis ilmiah sebagai syarat kenaikan pangkat agar dihapauskan. Bagi penulis, permintaan itu sangat naif dan menggelikan. Kita selama ini meyakini bahwa guru merupakan sebuah komunitas intelektual yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata orang kebanyakan, karena guru memang harus orang yang terdidik. Guru juga sangat dekat sekali dengan dunia tulis menulis. Seorang guru telah terbiasa menyampaikan gagasan-gagasannya di depan siswa-siswanya. Dan lagi bila ia seorang sarjana, di perguruan tinggi dia telah dipelajari bagaimana caranya membuat karya tulis ilmiah dan telah menulis karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi ketika akan merampungkan studinya. Bukankah dengan kondisi seperti itu menulis karaya tulis ilmiah bagi seorang guru adalah perkara sangat mudah, semudah ketika makan kacang goreng? Lalu kenapa harus menolak ketika diharuskan menulisnya sebagai syarat kenaikan pangkat?
Mungkin memang begitulah realitas guru-guru di Indonesia yang sangat alergi terhadap kerja penulisan karya tulis ilmiah secara khusus atau tulis menulis secara umum. Kita dapat melihat sampelnya di media surat kabar dan majalah misalnya, berapa persenkah tulisan yang dimuat di dalamnya ditulis oleh seorang guru? Apakah signifikan bila diprosentasekan dengan jumlah guru di Indonesia?
Realitas di atas juga paling tidak menunjukkan sejauh mana kualitas intelektual seorang guru dalam membuat karya tulis ilmiah yang memiliki sejumlah kesulitannya tersendiri. Yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yan mempunyai tekad yang kuat dan kemauan yang sungguh-sungguh untuk menulisnya. Ia juga menjadi indikator tentang lemahnya kreatifitas dan inovasi guru-guru di Indonesia dalam hal melakukan penelitian sebagai salah satu karya tulis ilmiah.
Pemerintah sendiri telah lama menjadikan penulisan karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat. Tapi pada kenyataannya banyak sekali syarat itu diganti dengan sejumlah uang atau walaupun menulis ia merupan jiplakan atau meyuruh orang lain, sehingga ketika pemerintah daerah lewat pintu gerbang otonominya menerapkan peraturan yang lebih ketat maka yang terjadi adalah kepanikan dan usaha bagaimana agar syarat itu ditiadakan saja.
Dunia pendidikan kita memang sudah sangat jauh tertinggal bila dibandingakan degan banyak negara lain. Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh, pada tahun tujuh puluhan, negara jiran kita, Malaysia banyak sekali mengirimkan siswanya untuk belajar di Indonesia dan mengundang para ahli pendidikan di Indonesia untuk membangun infrastrultur pendidikan di Malaysia, tetapi setelah tiga puluh tahun berlalu malah kita sekarang yang berkaca pada dunia pendidikan di Malaysia karena telah lebih maju dari kita dan tentu saja tidak ada lagi siswa-siswa Malaysia yang berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk belajar.
Banyak hal yang dapat dijadikan indikator kenapa kualitas pendidikan di Indonesia rendah, salah satunya adalah kualitas gurunya yang dibawah rata-rata. Banyak guru di Indonesia diangkat berdasarkan KKN dan bukan didasarkan pada kualifikasi dan standar kompetensi tertentu sebagai seorang agen intelektual yang berada di garda depan dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu buktinya ketika disyaratkan untuk menulis karya tulis ilmiah saja sudah kelabakan.
Sudah selayaknya mulai sekarang guru harus mempunyai kesadaran kolektif bahwa salah satu dimensi pekerjaan seorang guru adalah dunia tulis menulis, yang merupakan medan dakwahnya yang lain. Kalau dalam menerangkan pelajaran di kelas, medan dakwahnya adalah siswanya maka ketika menulis karya tulis ilmiah medan dakwahnya adalah komunitas di luar itu, bisa saja ia adalah teman sejawatnya, pemerintahnya dan juga orang-orang yang kebetulan tidak berprofesi sebagai guru. Kesadaran seperti itu menuntut guru harus selalu memperbarui pengetahuannya dan memperkaya wawasannya agar ide-ide yang disampaikan dalam karya tulis ilmiahnya selalu up to date dan mempunyai fisi ke depan
Juga yang tidak kalah pentingnya adalah perhatian pemerintah terhadap kualitas guru. Pemerintah –dalam hal ini Departemen Pendidikan-- mulai sekarang harus mempunyai concern yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hal manajeman perekrutan guru dan menganggarkan dana yang cukup untuk memberikan penghargaaan yang sangat pantas bagi guru-guru yang berprestasi dalam hal karya tulis ilmiah. Karya tulis ilmiah harus benar-benar bisa dijadikan indikator bagi penilaian tentang kualitas guru dan kenaikan pangkatnaya.
Kita sangat berharap, pada suatu saat nanti, karya tulis ilmiah menjadi sebuah kebutuhan pokok bagi seorang guru untuk membuktikan kualitas dan eksistensinya sebagai seorang guru. Pada suatu saat nanti kita mengharapkan para guru yang tersenyum menyambut pemerintah daerahnya yang mewajibkan penulisan karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat mereka, bukan sebuah unjuk rasa lagi. Semoga.

CerpenQ

ULAR SANG KYAI

Cerpen: Mohammad Johan

Nabil dan Zainal cangkruan di bawah purnama. Di kebun belakang pondok. Samping rumah Kyai. Jam belajar malam telah usai. Seperti malam-malam sebelumnya, kedua santri itu ngobrol santai tentang berbagai hal. Tema obrolan malam itu masih kelanjutan dari yang kemarin malam, tentang karomah para kyai.

“Kyai itu kekasih Allah, makanya mempunyai kekaromahan tesendiri.” Nabil membuka obrolan sembari semburkan asap rokoknya. Membentuk bulatan bola yang melayang-layang di udara.

“Jangan bilang semua kyai-lah.” Zainal mengibaskan asap rokok yang mampir di hidungnya. Kepalanya sering pusing kalau menghirup asap rokok. “Kyai siapa? Kekaromahan apa?”

“Ya banyak, di daerah kita inipun gak kekurangan kok.” Jawab Nabil sambil terus mempermainkan semburan asap rokok dari bibirnya yang mulai menghitam. “Kamu tahu Kyai Rifa’i, kan? Beliau tuh bisa sembuhin segala penyakit hanya dengan air.” Ia mulai mendongakkan kepala seperti biasa ketika pendapatnya mulai di atas angin. “Ada lagi Kyai Fatah yang bisa menebak keberadaan barang hilang dan pencurinya sekalian dengan tokcer.”

“Ah, hal itu biasa,” Zainal menjawab datar, “yang bukan kyaipun bisa,” ia membetulkan letak kaca matanya seperti layaknya seorang profesor ketika memberikan kuliah. Kawan-kawannya memang menjulukinya profesor karena cerdas, “bahkan aku dulu pernah lihat di TV, orang yang tidak seagama dengan kitapun kitapun bisa melakukan itu. Berarti, hal itu bukan monopoli kyai karena kedekatannya dengan Allah.”

“Hai kutu buku, tapi di daerah kita kan dimonopoli kyai?” sergah Nabil mantap.

“Tapi secara umum, tidak hanya kyai yang bisa melakukan itu.” Zainal tak mau kalah. Tinggikan suara yang memang sudah bariton itu.

“Tapi kyai memang lain dari pada yang lain,” komentar Nabil kemudian. “Beliau itu pewaris para Nabi.”

“Pewaris para Nabi itu ulama bukan kyai.” Sergah Zainal.

“Lho apa bedanya kyai dengan ulama?” Muka Nabil mengkerut.

“Ya jelas beda,” Zainal betulkan silanya, “ulama itu orang yang mendalam ilmu pengetahuannya dan kuat ibadahnya kepada Allah, siapa saja yang memenuhi syarat tersebut adalah ulama, kitapun bisa menjadi ulama dan pewaris para Nabi jika belajar dan beribadah dengan sungguh-sungguh,” Zainal coba tatap Nabil, ingin tahu reaksinya, “sementara kyai itu bisa saja karena keturunan!”

“Huss! Jangan bilang gitu, bisa kualat!”

“Apanya yang kualat?” Wajah Zainal ditekuk.

“Jangan bilang jadi kyai hanya karena keturunan!” Nabil membentak.

“Tapi benar kan? Banyak orang yang dianggap kyai hanya karena dia anak atau keturunan kyai?”

“Keturunan juga penting! Para Nabi juga satu keturunan, para wali yang menyiarkan Islam di tanah Jawa juga masih saling ada hubungan darah, termasuk juga kyai-kyai yang ada di daerah kita ini.” Nabil mencoba menganalisa.

“Aku tahu, cuma kita terkadang terlalu mengagungkan keturunannya bukan kualitas pribadinya, bukan ilmu dan ibadahnya.” Zainal berikan alasannya dengan suara mantap.

“Lho, semua kyai kan ilmunya mendalam dan ibadahnya juga shaleh?”

“Banyak juga yang ibadahnya sama dengan kyai bahkan ilmunya melebihi, tapi gak dihormati sama seperti kyai.”

“Bisa saja karena mereka memang belum pantas disebut sebagai kyai!” Mata Nabil melotot dengan mulut manyun.

“Nah itu, jika kita memang ingin menghormati seseorang hormatilah ia karena keluasan ilmu dan ketekunan ibadahnya, bukan karena keturunannya.”

“Tapi…” mata Nabil kembli melotot tapi tak melanjutkan komentarnya. “Ular!!!” Jerit Nabil kemudian.

Serentak mereka bangkit. Pasang kuda-kuda siaga.

Seekor ular berkulit belang-belang. Sebesar paha anak kecil. Merayap perlahan. Melintas di hadapan mereka.

“Dari mana datangnya, Bil? Nafas Zainal terengah.

Nabil mengarahkan telunjuk ke arah pagar rumah Kyai Hasan yang sebagiannya ditumbuhi tanaman perdu, “Mungkin dari sana!”

“Bunuh saja, Bil!”

“Jangan!” Nabil acungkan tangannya ke arah Zainal.

“Usir saja!” Zainal mengambil sebuah cabang pohon jati sebesar lengan orang dewasa dekat kakinya.

“Aku bilang jangan!” Nabil merampas cabang jati itu dengan kasar.

“Kenapa? Ular itu bisa masuk ke lingkungan pondok kita!” Zainal melongo.

“Itu ular Kyai Hasan!”

“Hah?!?” Zainal terperangah, “masak Kyai pelihara ular?”

“Memangnya kenapa?”

“Ular jenis binatang yang berbahaya.” Zainal mematung. Menyatukan pandangan ke arah ular yang telah melingkar di tengah kebun itu. Seakan tak mau pergi. “Walaupun Kyai gak digigit, tapi kalau berkeliaran begini kan bisa membahayakan orang lain, termasuk para santri.”

“Itu bukan ular biasa!” Nabil menerangkan dengan mimik wajah serius.

“Maksud kamu?” Zainal kernyitkan keningnya.

“Ular itu sakti. Ularnya Kyai. Bertugas menjaga lingkungan pondok ini.” Nabil mendekat ke arah ular yang tetap melingkar itu. “Ngerti?”

“Ah, aku gak percaya,” Zainal ikut beranjak, ingin melihat ular itu dari dekat, “mana ada ular sakti?”

“Kamu ini kalau dibilangin memang sulit percaya, ya!” Nabil menghardik Zainal yang dianggapnya sejak tadi telah keterlaluan menghina kyai, terutama menghina keyakinannya yang selama ini kokoh tentang kyai.

“Bukannya sulit percaya, Bil.” Jawab Zainal lembut. Mencoba meredam amarah Nabil yang mulai membuncah. “Tapi, aku hanya berusaha untuk tidak mudah percaya dengan pengetahun baru yang aku dapatkan dan tidak sesuai dengan keyakinanku.”

“Ah, dasar kamu pandai berkelit.” Nabil bersungut.

“Tapi boleh kan aku tidak percaya?” Suara Zainal tambah lembut walau tetap saja tak mampu meredam amarah yang terlanjur menguasai Nabil.

“Kamu maunya apa sih?” Nabil berbalik ke arah Zainal, “Itulah kalau banyak baca buku bukan kitab kuning, jadi mudah menghina kyai sendiri.”

“Aku hanya ingin mendudukkan posisi kyai pada…”

Zainal belum lagi menyelesaikan ucapannya, ketika kepalan tinju tangan Nabil telah hadir di depan wajahnya. Emosi benar-benar telah berhasil menguasai akal sehat Nabil. Dia tidak terima sosok kyai dihina.

Reflek Zainal menangkis. Walau kurus dan berkaca mata, dia pemegang sabuk coklat karate di pesantren itu. Nabil meringis menahan sakit. Tangannya yang penuh daging beradu dengan tulang tangan Zainal.

“Bil, tenang! Apa-apaan sih, masak harus begini ca…”

Sebuah tendangan lurus sudah mengarah ke dada Zainal. Nabil telah dirasuk setan. Dahi penuh peluh. Mata memerah.

Zainal memiringkan badannya sedikit. Menghalau kaki Nabil ke samping. Hampir saja Nabil terjerembab kalau tidak kuda-kudanya kokoh. Nabil yang juga pemegang sabuk biru karate itu tambah nanar. Setelah dua kali serangannya dimentahkan Zainal dengan mudah.

Beberapa orang santri mulai berdatangan karena mendengar ribut-ribut di belakang pondok. Mereka melongo. Heran. Dua orang pendekar pesantren itu berlatih karate malam hari. Tidak seperti biasanya dai pagi hari setiap Jum’at. Merekapun kembali balik ke pondok sambil geleng-geleng kepala.

Melihat banyak santri yang datang. Zainal menjauhi Nabil. Bermaksud menghindari keributan yang tidak berguna itu. Tapi Nabil belum juga mau menyerah. Mengejar Zainal dengan kepalan tangan tergenggam dan gigi bergemeretak.

Zainal tak mau konyol. Pasang kuda-kuda. Nabil melompat mengerahkan seluruh tenaganya dengan tinju teracung. Namun…

“Ularnya mana, Nal?!?” Nabil mengurungkan serangannya. Menelisik ke segala arah. Ular itu raib.

Zainal bengong. Ular itu memang benar-benar lenyap. Tak berbekas.

“Tu kan Nal, aku dah bilang barusan ular itu sakti,” Nabil mendekati tempat ular itu tadi melingkar.

“Sakti apaan,” Zainal menyapukan pandangannya ke segala sudut kebun, “jelas saja ular itu pergi.”

“Pergi kemana?” Nabil tidak terima ular itu dikatakan pergi.

“Jelas aja kita gak tahu! Kamu sih ngamuk tadi.”

“Kamu sih gak percaya.” Nabil bertahan dengan pendapatnya.

“Ular itu memang gak sakti, ia pergi tadi tapi kita gak tahu perginya kemana. Kalau masuk ke lingkungan pondok, gimana?”

“Dia ularnya Kyai, Nal!” Nabil bersungut. “Gak mungkin mengganggu santri, ia sakti tak mungkin menyakiti yang tidak bersalah. ia kan juga alim seperti Kyai.”

“Kamu sekarang yang ngeyel, ya?” Zainal kembali tinggikan suaranya. “Coba tadi dibunuh, kan gak mungkin akan membahayakan orang lain.”

“Jadi kamu nyalahin aku?!!”

“Iya!” Zainal tiba-tiba saja garang. Kesal. Ular itu bisa membahayakan santri.

“Kamu mau apa?!?” Kembali Nabil naik pitam. Tantang Zainal.

“Nih.”

“Uugh…”

Sebuah sodokan tangan dengan separuh tenaga mampir di perut Nabil. Dia meringis. Serangan yang tidak disangka. Untung tadi sempat tahan nafas. Sakitnya tidak telak. Zainal siap dengan kuda-kuda kokohnya.

“Kok jagi gini, Nal?” Nabil pegangi perutnya.

“Kamu yang menghalangiku membunuh ular itu, kalau membahayakan santri gimana?”

“Aku kan dah bilang tadi, kamu aja yang gak pernah ngerti!” Kembali Nabil menghardik. Tak terima disalahkan.

“Aku memang gak kan pernah ngerti!”

“Terserah!”

Perkelahian itu kembali terjadi. Tambah seru. Jual beli pukulan. Barter tendangan. Erangan kesakitan mewarnai. Jerit kemaharahan menyelingi.

Purnama telah tinggalkan singgasananya. Mengintip perkelahian itu dari ambang langit. Sinarnya sedikit meredup. Bintang tak tampak. Awan berarak.

Malam semakin larut. Perkelahian itu tetap berlanjut.

Moloan, 18/02/2009